PELUKAN AYAH

                     





Halo temans.

Cover Pelukan Ayah
       Berikut ini tulisan saya di salah satu buku antalogi Pelukan Ayah yang ceritanya mengenai perjuangan seorang anak sulung perempuan yang punya cita cita menjadi Insinyur Pertanian namun tidak dapat memenuhi cita citanya. 
     Demi Patuh dan  mengikuti strategi Bapaknya serta untuk menyenangkan hati beliau, bagaimana kisah selanjunya silahkan disimak tulisan berikut semoga menginspirasi dan bermanfaat. Bila ingin mengikuti kisal tentang ayah yang lekat diingatan lainya silahkan menuliskan di komen di bawah mau...saya mauuu...beli bukunya ya terimakasih


                                            

                                                      Bapak, Teladan Saya

                                                                       Kustinah S.Parto

 

Bapak, biasa saya menyapanya. Beliau lahir di kota kecil Gombong, Kebumen, Jawa Tengah di tengah keluarga besar, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara. Kakek bekerja di bank di daerahnya, sedangkan Nenek adalah ibu rumah tangga.

Sejak kecil Bapak sudah terbiasa hidup mandiri, bahkan ketika SMA sudah hidup terpisah dari keluarga dengan melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Setelah lulus SMA dan bekerja, beliau sempat melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Semarang.

Namun, sayang, karena terkendala waktu dan jarak sempat drop out. Kemudian Bapak bekerja sebagai pegawai negeri. Beliau berpindah-pindah kerja dari kantor di Jalan Gajah Mada Jakarta sampai di suatu kota kecil di Purwodadi, Kabupaten Grobogan.

Suatu saat bertemu dengan gadis cantik pujaan hatinya, seorang guru SD yang kemudian menjadi ibu saya. Dari pernikahannya, Bapak dan Ibu dikaruniai empat orang putera dan puteri, saya anak tertua.

Kehidupan keluarga orang tua kami sangat harmonis, bahagia, sakinah, dan mawaddah wa rahmah. Bapak dan Ibu sangat memperhatikan pendidikan, terutama pendidikan agama sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat serta pendidikan tinggi sebagai bekal masa depan supaya mandiri dan bermanfaat bagi sesama.

Bapak berpesan bahwa beliau hanya sanggup membiayai sekolah anak-anaknya di sekolah negeri. Demikian pula, pada saat jenjang pendidikan perguruan tinggi. Beliau mengharusnya anak-anaknya untuk lulus perguruan tinggi negeri.

“Bagaimana kalau tidak diterima, Pak?” tanya saya.

“Ya, tidak sekolah,” kata Bapak.

Deg, peringatan Bapak tersebut sangat memotivasi saya–khususnya–untuk rajin belajar karena cita-cita saya dari kecil adalah sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. Tidak terbayangkan kalau hanya lulus SMA, tidak lanjut kuliah di perguruan tinggi.

Beliau sangat tegas dalam menerapkan aturan, susah untuk diajak negosiasi. Bapak seorang yang jujur dan sangat taat aturan. Tidak bergeming saat diajak berbuat yang melanggar aturan. Beliau mendidik anaknya dengan sangat sederhana.

Cita-cita saya sejak kecil pengin menjadi Insinyur Pertanian dan bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Pertanian karena Bapak tamatan Sekolah Pertanian Menegah Atas atau SPMA selevel SMA, saya lihat kariernya kurang mulus.

Pernah suatu saat sudah ada rencana mau dilantik menjadi Kepala Dinas di Kabupaten, mendadak dibatalkan. Padahal sudah siap dengan baju dinasnya dan kami sangat gembira serta mendukung berita baik tersebut.

Kami sangat kecewa dan penasaran pengin tahu alasanya. Katanya ada seseorang yang berlatar belakang pendidikan Strata-1, tiba-tiba menggantikan jabatan yang akan diberikan kepada Bapak.

Sungguh keputusan tersebut sangat menyesakkan dada sehingga memotivasi saya untuk rajin belajar dan dapat meraih ijazah S-1 Pertanian.

Demi untuk mencapai cita-cita, saya belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh selalu menduduki rangking tiga besar di sekolah, SD dan SMP. Hingga suatu saat setelah lulus dari SMAN 1 Semarang dan hendak mendaftar di perguruan tinggi negeri, timbul diskusi antara saya dan kedua orang tua.

Saya pengin melanjutkan di Fakultas Pertanian di UGM Yogyakarta, tetapi kedua orang tua tidak mengizinkan dengan alasan anak pertama perempuan tidak boleh keluar kota. Harus kuliah di Undip Semarang dan Bapak yang memilihkan fakultasnya, yaitu Teknik Kimia Undip. “Yaa, Allah. Saya terpikir saja tidak, apalagi mengetahui, sama sekali tidak tahu apa itu Teknik Kimia”.

Mata pelajaranya apa saja dan apa bedanya dengan Fakultas Kimia MIPA? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiran saya saat itu. Apalagi mendengar kata “Teknik” sudah ngeper alias takut duluan.

Saya yang waktu itu masih remaja, memeluk Bapak yang ada di samping Ibu. Seolah-olah saya mendengar Bapak bercerita.

“Ikuti kemauan bapakmu, Nak. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya. Insyaallah, rida orang tua memudahkan, melancarkan usahamu.”

Kemudian saya lepaskan pelukan hangat Bapak. Tatapan mata Bapak sangat teduh menguatkan saya untuk terus melangkah memenuhi harapannya. Tanpa terasa, air mata pun keluar. Keringat dingin juga ikut keluar. Pada saat sudah memeluk Bapak, bahkan bisa menangis serasa ringan, bahkan sudah tidak ada emosi negatif.      

Selanjutnya Bapak yang membantu menguruskan semua proses pendaftaran perguruan tinggi melalui tes tertulis. Seingat saya waktu itu pilihan pertama Fakultas Teknik Kimia, Undip dan pilihan kedua Fakultas Hukum, Undip. 

Setelah melalui serangkaian proses pendaftaran dan ujian tertulis maka tibalah waktu pengumuman yang saat itu masih menggunakan surat kabar. 

Sungguh sangat tidak berani saya melihat surat kabar yang berisikan deretan   nama nama calon mahasiswa yang berhasil masuk perguruan tinggi dari berbagai fakultas dan universitas.

Saya memilih di kamar sendiri sambil terus berdoa. Saya mendengar Bapak dan Ibu, serta adik-adik berbagi lembaran surat kabar untuk melihat di Fakultas Teknik Kimia dan Fakultas Hukum.

“Bapak melihat di Fakultas Teknik Kimia, ya. Ibu melihat di Fakultas Hukum,” kata Bapak.

Setelah itu suasana hening. Jantung saya semakin berdegup lebih cepat dan tiba-tiba terdengar suara Ibu dengan nada kecewa, “Di Fakultas Hukum, enggak ada namanya,”

Namun, beberapa saat kemudian Bapak dengan setengah berteriak berkata, “Alhamdulillah, Yaa Allah, di Teknik Kimia ada!” sambil berjalan menuju kamar menemui saya diiringi Ibu dan adik-adik. Kami pun saling berpelukan dan tersenyum bahagia.

Setelah itu, bagaimana?

Setelah itu benar-benar perjuangan hidup saya dimulai, “Ya Allah, “Bismillaahirrahmaanirrahim”.

Semoga niat ini selalu tulus ikhlas mencari ilmu karena Allah, ingin membahagiakan orang tua dan membantu sesama. “Selalu fokus, semangat belajar, langkah menjadi mantab karena dibersamai dan ditolong Allah Swt.” pinta saya.

Lekat dalam ingatan, saat semester satu, bila malam sedang belajar sendiri di kamar, Ibu dan Bapak tidak berhenti memotivasi.

“Semangat belajarnya, ya, Nak. Jangan lupa setiap malam bangun salat Tahajud dan puasa Senin-Kamis.”

Sebagai anak paling besar, harapan orang tua dan menjadi contoh adik-adik, saya selalu berusaha semaksimal mungkin dan berdoa. Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, kenal dan bersahabat dengan teman seangkatan.

Meskipun di Fakultas Teknik terkenal banyak mahasiswa laki-laki, tetapi di Teknik Kimia, banyak juga perempuannya dan pintar-pintar. Kami lebih enak untuk berdiskusi mengerjakan tugas, membuat laporan laboratorium dan mencari soal-soal dari angkatan sebelumnya untuk dikerjakan bareng bila akan ujian semester.

Di tengah perjalanan saya di perkuliahan, Bapak pindah tugas ke Jepara. Sungguh masa sulit bagi kami waktu itu karena saya dan adik nomor tiga yang masih SMA harus indekos. Sedangkan saudara yang lainnya ikut orang tua di Jepara. Teringat saat itu, bila Bapak sedang mendapat gaji, langsung habis dibagikan kepada kami–anak anaknya–sebagai uang saku.

Namun, Alhamdulillah, beberapa tahun kemudian Dinas Pertanian banyak proyek. Sehingga Bapak bekerja juga di Dinas Pengairan dan sering memberikan pelatihan atau penyuluh pertanian. Jadi ada tambahan penghasilan untuk dapat terus menyekolahkan empat orang putera-puterinya.

Belakangan hari, waktu itu Bapak baru bercerita bahwa salah satu alasan mengapa menyarankan saya masuk Fakultas Teknik Kimia karena industri di Indonesia sedang tumbuh pesat, sedangkan Sumber Daya Manusianya masih terbatas.

Pantas saja, kami diberikan berbagai kemudahan dan juga beasiswa untuk segera menyelesaikan skripsi dan perkuliahan. Cita-cita Bapak pengin anak pertamanya kerja di salah satu BUMN Minyak dan Gas Bumi, yaitu Pertamina.

Setelah menamatkan kuliah, saya ikut Budhe ke Jakarta untuk tinggal di rumah kakak sepupu di daerah Sunter, Jakarta. Bapak mempunyai pandangan kalau anak sudah dewasa, sudah dibekali ilmu harus keluar dari rumah, dan belajar hidup mandiri.

Jangan ditanya bagaimana rasanya, berat memang. Berpisah dengan orang tua dan hidup di kota besar seperti Jakarta. Awalnya ikut tes di pabrik mi instan di daerah Ancol Jakarta. Dari rumah kakak meskipun tidak jauh, tetapi ditemani Budhe sambil diajari trayek kendaraan umum.

Masyaallah, lincah sekali orang-orang yang menggunakan jasa kendaraan umum yang saya lihat waktu itu. Ibu-ibu hamil saya lihat turun dari bus mini warna oranye masih berjalan pelan.

Hasil tes saya dinyataakan tidak lolos seleksi dan ditolak kerja di perusahaan yang memproduksi Indomie itu. Sedih dan kecewa? Iya, pasti. Karena sahabat waktu kuliah diterima. 

Namun, kekecewaan itu tidak berlangsung lama, sungguh kami sangat berterima kasih kepada kakak sepupu yang saat itu sebagai CEO di salah satu perusahaan mobil terbesar di Jakarta memberikan katabelece kepada teman yang menjadi direktur di perusahaan swasta. Alhamdulillah, dari tiga perusahaan yang direkomendasikan kakak, setelah melalui serangkaian tes, saya diterima kerja di pabrik baterai milik salah satu konglomerat Indonesia di daerah Semper Jakarta Utara.

Senang dan bahagia sekali rasanya. Belum wisuda, sudah langsung mendapatkan pekerjaan. Saya pun sangat antusias menyambut datangnya pagi untuk bekerja di pabrik baterai. Ditempatkan di bagian Engineering dengan teman kerja rata-rata laki-laki.

Sampai suatu ketika, sekitar tiga bulan bekerja, mendapat telepon dari Bapak, “Wook, bisa pulang segera? Ada panggilan tes dari Pertamina,” sambil Bapak menyebutkan tanggalnya.

Njih, siap, Pak,” sambut saya dengan cepat dan senang. Akhirnya saya mengikuti serangkaian tes sampai tahap akhir dan dinyatakan diterima kerja di perusahaan minyak dan gas bumi negara, Pertamina, sesuai harapan bapak. Syukur Alhamdulillah. Sungguh rida Allah sesuai dengan rida orang tua. Sungguh Allah Swt. Yang Maha Segalanya, sebaik baik pemberi keajaiban. 

“Allah, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi), melainkan Dia Yang Mahahidup lagi Mahakekal, dan terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk, dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255).





Comments

  1. Ceritanya dalam sekali, love it! Dan saya kini adalah seorang bapak untuk anak putrinya, jadi harus bin kudu banyak-banyak meningkatkan skill jadi seorang "bapak" yang tangguh!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih kak Aan selalu sehat bahagia dan sukses dunia akherat sekeluarga..

      Delete
  2. Wah, cerita yang menakjubkan ni. Benar benar mengajarkan kita betapa pentingnya untuk selalu berdoa pada Tuhan, tetap semangat, tidak pernah menyerah dan pastinya taat pada orang tua. Terima kasih ya sudah menginspirasi kita sebagai pembaca, semoga buku antologinya laris manis ya. Aminnnn

    ReplyDelete
  3. Tulisannya menarik untuk kita ambil pelajaran perjalanan hidup, bahwa untuk menggapai suatu impian tujuan, kita perlu mempersiapkan diri apa saja yg diperlukan untuk meraihnya, Dengan Ihtiar2 yang telah dilakukan tentunya kita harus berdoa , memohon kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt., mengabulkannya.
    Selamat Bu Kustinah, semoga sukses selalu. Aamiin YRA. 🤲🙏

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PERKENALAN

11 Manfaat Menulis Buku Antalogi