PELUKAN AYAH
![]() |
Cover Pelukan Ayah |
Bapak, Teladan Saya
Kustinah S.Parto
Bapak, biasa saya menyapanya. Beliau lahir
di kota kecil Gombong, Kebumen, Jawa Tengah di tengah keluarga besar, anak
ketujuh dari tiga belas bersaudara. Kakek bekerja di bank di daerahnya,
sedangkan Nenek adalah ibu rumah tangga.
Sejak kecil Bapak sudah terbiasa
hidup mandiri, bahkan ketika SMA sudah hidup terpisah dari keluarga dengan
melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Setelah lulus SMA dan bekerja, beliau
sempat melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota
Semarang.
Namun, sayang, karena terkendala
waktu dan jarak sempat drop out. Kemudian Bapak bekerja sebagai pegawai
negeri. Beliau berpindah-pindah kerja dari kantor di Jalan Gajah Mada Jakarta
sampai di suatu kota kecil di Purwodadi, Kabupaten Grobogan.
Suatu saat bertemu dengan gadis
cantik pujaan hatinya, seorang guru SD yang kemudian menjadi ibu saya. Dari
pernikahannya, Bapak dan Ibu dikaruniai empat orang putera dan puteri, saya
anak tertua.
Kehidupan keluarga orang tua kami
sangat harmonis, bahagia, sakinah, dan mawaddah wa rahmah. Bapak dan Ibu
sangat memperhatikan pendidikan, terutama pendidikan agama sebagai bekal hidup
di dunia dan akhirat serta pendidikan tinggi sebagai bekal masa depan supaya
mandiri dan bermanfaat bagi sesama.
Bapak berpesan bahwa beliau hanya
sanggup membiayai sekolah anak-anaknya di sekolah negeri. Demikian pula, pada
saat jenjang pendidikan perguruan tinggi. Beliau mengharusnya anak-anaknya
untuk lulus perguruan tinggi negeri.
“Bagaimana kalau tidak diterima, Pak?”
tanya saya.
“Ya, tidak sekolah,” kata Bapak.
Deg,
peringatan Bapak tersebut sangat memotivasi saya–khususnya–untuk rajin belajar
karena cita-cita saya dari kecil adalah sekolah sampai jenjang perguruan
tinggi. Tidak terbayangkan kalau hanya lulus SMA, tidak lanjut kuliah di perguruan
tinggi.
Beliau sangat tegas dalam menerapkan
aturan, susah untuk diajak negosiasi. Bapak seorang yang jujur dan sangat taat
aturan. Tidak bergeming saat diajak berbuat yang melanggar aturan. Beliau
mendidik anaknya dengan sangat sederhana.
Cita-cita saya sejak kecil pengin
menjadi Insinyur Pertanian dan bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen
Pertanian karena Bapak tamatan Sekolah Pertanian Menegah Atas atau SPMA selevel
SMA, saya lihat kariernya kurang mulus.
Pernah suatu saat sudah ada rencana
mau dilantik menjadi Kepala Dinas di Kabupaten, mendadak dibatalkan. Padahal
sudah siap dengan baju dinasnya dan kami sangat gembira serta mendukung berita
baik tersebut.
Kami sangat kecewa dan penasaran
pengin tahu alasanya. Katanya ada seseorang yang berlatar belakang pendidikan
Strata-1, tiba-tiba menggantikan jabatan yang akan diberikan kepada Bapak.
Sungguh keputusan tersebut sangat
menyesakkan dada sehingga memotivasi saya untuk rajin belajar dan dapat meraih
ijazah S-1 Pertanian.
Demi untuk mencapai cita-cita, saya
belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh selalu menduduki rangking tiga besar
di sekolah, SD dan SMP. Hingga suatu saat setelah lulus dari SMAN 1 Semarang
dan hendak mendaftar di perguruan tinggi negeri, timbul diskusi antara saya dan
kedua orang tua.
Saya pengin melanjutkan di Fakultas
Pertanian di UGM Yogyakarta, tetapi kedua orang tua tidak mengizinkan dengan
alasan anak pertama perempuan tidak boleh keluar kota. Harus kuliah di Undip
Semarang dan Bapak yang memilihkan fakultasnya, yaitu Teknik Kimia Undip. “Yaa,
Allah. Saya terpikir saja tidak, apalagi mengetahui, sama sekali tidak tahu apa
itu Teknik Kimia”.
Mata pelajaranya apa saja dan apa
bedanya dengan Fakultas Kimia MIPA? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiran
saya saat itu. Apalagi mendengar kata “Teknik” sudah ngeper alias takut
duluan.
Saya yang waktu itu masih remaja,
memeluk Bapak yang ada di samping Ibu. Seolah-olah saya mendengar Bapak
bercerita.
“Ikuti kemauan bapakmu, Nak. Tidak
ada orang tua yang menjerumuskan anaknya. Insyaallah, rida orang tua
memudahkan, melancarkan usahamu.”
Kemudian saya lepaskan pelukan hangat
Bapak. Tatapan mata Bapak sangat teduh menguatkan saya untuk terus melangkah
memenuhi harapannya. Tanpa terasa, air mata pun keluar. Keringat dingin juga
ikut keluar. Pada saat sudah memeluk Bapak, bahkan bisa menangis serasa ringan,
bahkan sudah tidak ada emosi negatif.
Selanjutnya Bapak yang membantu
menguruskan semua proses pendaftaran perguruan tinggi melalui tes tertulis.
Seingat saya waktu itu pilihan pertama Fakultas Teknik Kimia, Undip dan pilihan
kedua Fakultas Hukum, Undip.
Setelah melalui serangkaian proses
pendaftaran dan ujian tertulis maka tibalah waktu pengumuman yang saat itu
masih menggunakan surat kabar.
Sungguh sangat tidak berani saya
melihat surat kabar yang berisikan deretan
nama nama calon mahasiswa yang berhasil masuk perguruan tinggi dari
berbagai fakultas dan universitas.
Saya memilih di kamar sendiri sambil
terus berdoa. Saya mendengar Bapak dan Ibu, serta adik-adik berbagi lembaran
surat kabar untuk melihat di Fakultas Teknik Kimia dan Fakultas Hukum.
“Bapak melihat di Fakultas Teknik
Kimia, ya. Ibu melihat di Fakultas Hukum,” kata Bapak.
Setelah itu suasana hening. Jantung
saya semakin berdegup lebih cepat dan tiba-tiba terdengar suara Ibu dengan nada
kecewa, “Di Fakultas Hukum, enggak ada namanya,”
Namun, beberapa saat kemudian Bapak
dengan setengah berteriak berkata, “Alhamdulillah, Yaa Allah, di Teknik
Kimia ada!” sambil berjalan menuju kamar menemui saya diiringi Ibu dan adik-adik.
Kami pun saling berpelukan dan tersenyum bahagia.
Setelah itu, bagaimana?
Setelah itu benar-benar perjuangan
hidup saya dimulai, “Ya Allah, “Bismillaahirrahmaanirrahim”.
Semoga niat ini selalu tulus ikhlas
mencari ilmu karena Allah, ingin membahagiakan orang tua dan membantu sesama. “Selalu
fokus, semangat belajar, langkah menjadi mantab karena dibersamai dan ditolong
Allah Swt.” pinta saya.
Lekat dalam ingatan, saat semester
satu, bila malam sedang belajar sendiri di kamar, Ibu dan Bapak tidak berhenti
memotivasi.
“Semangat belajarnya, ya, Nak. Jangan
lupa setiap malam bangun salat Tahajud dan puasa Senin-Kamis.”
Sebagai anak paling besar, harapan
orang tua dan menjadi contoh adik-adik, saya selalu berusaha semaksimal mungkin
dan berdoa. Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, kenal dan
bersahabat dengan teman seangkatan.
Meskipun di Fakultas Teknik terkenal
banyak mahasiswa laki-laki, tetapi di Teknik Kimia, banyak juga perempuannya
dan pintar-pintar. Kami lebih enak untuk berdiskusi mengerjakan tugas, membuat
laporan laboratorium dan mencari soal-soal dari angkatan sebelumnya untuk
dikerjakan bareng bila akan ujian semester.
Di tengah perjalanan saya di
perkuliahan, Bapak pindah tugas ke Jepara. Sungguh masa sulit bagi kami waktu
itu karena saya dan adik nomor tiga yang masih SMA harus indekos. Sedangkan
saudara yang lainnya ikut orang tua di Jepara. Teringat saat itu, bila Bapak
sedang mendapat gaji, langsung habis dibagikan kepada kami–anak anaknya–sebagai
uang saku.
Namun, Alhamdulillah, beberapa
tahun kemudian Dinas Pertanian banyak proyek. Sehingga Bapak bekerja juga di
Dinas Pengairan dan sering memberikan pelatihan atau penyuluh pertanian. Jadi
ada tambahan penghasilan untuk dapat terus menyekolahkan empat orang putera-puterinya.
Belakangan hari, waktu itu Bapak baru
bercerita bahwa salah satu alasan mengapa menyarankan saya masuk Fakultas
Teknik Kimia karena industri di Indonesia sedang tumbuh pesat, sedangkan Sumber
Daya Manusianya masih terbatas.
Pantas saja, kami diberikan berbagai
kemudahan dan juga beasiswa untuk segera menyelesaikan skripsi dan perkuliahan.
Cita-cita Bapak pengin anak pertamanya kerja di salah satu BUMN Minyak dan Gas
Bumi, yaitu Pertamina.
Setelah menamatkan kuliah, saya ikut Budhe
ke Jakarta untuk tinggal di rumah kakak sepupu di daerah Sunter, Jakarta. Bapak
mempunyai pandangan kalau anak sudah dewasa, sudah dibekali ilmu harus keluar
dari rumah, dan belajar hidup mandiri.
Jangan ditanya bagaimana rasanya,
berat memang. Berpisah dengan orang tua dan hidup di kota besar seperti
Jakarta. Awalnya ikut tes di pabrik mi instan di daerah Ancol Jakarta. Dari
rumah kakak meskipun tidak jauh, tetapi ditemani Budhe sambil diajari trayek
kendaraan umum.
Masyaallah,
lincah sekali orang-orang yang menggunakan jasa kendaraan umum yang saya lihat
waktu itu. Ibu-ibu hamil saya lihat turun dari bus mini warna oranye masih
berjalan pelan.
Hasil tes saya dinyataakan tidak
lolos seleksi dan ditolak kerja di perusahaan yang memproduksi Indomie itu.
Sedih dan kecewa? Iya, pasti. Karena sahabat waktu kuliah diterima.
Namun, kekecewaan itu tidak
berlangsung lama, sungguh kami sangat berterima kasih kepada kakak sepupu yang
saat itu sebagai CEO di salah satu perusahaan mobil terbesar di Jakarta
memberikan katabelece kepada teman yang menjadi direktur di perusahaan swasta. Alhamdulillah,
dari tiga perusahaan yang direkomendasikan kakak, setelah melalui serangkaian
tes, saya diterima kerja di pabrik baterai milik salah satu konglomerat
Indonesia di daerah Semper Jakarta Utara.
Senang dan bahagia sekali rasanya. Belum
wisuda, sudah langsung mendapatkan pekerjaan. Saya pun sangat antusias
menyambut datangnya pagi untuk bekerja di pabrik baterai. Ditempatkan di bagian
Engineering dengan teman kerja rata-rata laki-laki.
Sampai suatu ketika, sekitar tiga
bulan bekerja, mendapat telepon dari Bapak, “Wook, bisa pulang segera? Ada
panggilan tes dari Pertamina,” sambil Bapak menyebutkan tanggalnya.
“Njih, siap, Pak,” sambut saya
dengan cepat dan senang. Akhirnya saya mengikuti serangkaian tes sampai tahap
akhir dan dinyatakan diterima kerja di perusahaan minyak dan gas bumi negara,
Pertamina, sesuai harapan bapak. Syukur Alhamdulillah. Sungguh rida
Allah sesuai dengan rida orang tua. Sungguh Allah Swt. Yang Maha Segalanya,
sebaik baik pemberi keajaiban.
“Allah, tidak ada Ilah
(yang berhak diibadahi), melainkan Dia Yang Mahahidup lagi Mahakekal, dan terus-menerus
mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk, dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa
yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah
tanpa izin-Nya?Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, sedang mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa
yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
(QS. Al-Baqarah: 255).
Ceritanya dalam sekali, love it! Dan saya kini adalah seorang bapak untuk anak putrinya, jadi harus bin kudu banyak-banyak meningkatkan skill jadi seorang "bapak" yang tangguh!
ReplyDeleteTerimakasih kak Aan selalu sehat bahagia dan sukses dunia akherat sekeluarga..
DeleteWah, cerita yang menakjubkan ni. Benar benar mengajarkan kita betapa pentingnya untuk selalu berdoa pada Tuhan, tetap semangat, tidak pernah menyerah dan pastinya taat pada orang tua. Terima kasih ya sudah menginspirasi kita sebagai pembaca, semoga buku antologinya laris manis ya. Aminnnn
ReplyDeleteAamiin terimakasih comment nya ya Ben..🙏🏻
DeleteTulisannya menarik untuk kita ambil pelajaran perjalanan hidup, bahwa untuk menggapai suatu impian tujuan, kita perlu mempersiapkan diri apa saja yg diperlukan untuk meraihnya, Dengan Ihtiar2 yang telah dilakukan tentunya kita harus berdoa , memohon kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt., mengabulkannya.
ReplyDeleteSelamat Bu Kustinah, semoga sukses selalu. Aamiin YRA. 🤲🙏