MAMA, TOLONG HIDUP LEBIH LAMA
Halo temans,
Berikut tulisan saya berjudul Bahagia dengan teladan Ibu, pada Buku Antalogi mama, tolong hidup lebih lama...yang mencerikan Ibu sebagai teladan dalam hidup saya. Saya akan terus berusaha menjalankan nilai-nilai yang telah beliau tanamkan dalam diri saya. Warisan yang tak ternilai harganya dari Ibu bukanlah perhiasan, harta atau kekayaan, tetapi kasih sayang, kekuatan, kesabaran dan kedisiplinan yang telah beliau ajarkan kepada saya.
Sayang sekali ibu telah mendahului kami menghadap Allah, kami ikhlas dan sabar menerimanya dan selalu mendoakan, semoga Allah swt mengampuni dosa dan kesalahanya, menerima amal ibadahnya dan memasukkan ke surga dengan Rahmat dan Ridho Allah swt.
Bagaimana cerita selengkapnya...silahkan disimak pada kisah berikut ini...bila ingin mengetahui kisah lainya silahkan miliki bukunya....jangan lupa comment ya terimakasih..salam selalu sehat dan sukses
BAHAGIA DENGAN TELADAN
IBU
Oleh: Kustinah
“Jangan gunakan
ketajaman kata-katamu pada ibu yang mengajarkan cara berbicara”
(Ali bin Abi Thalib)
Saya lebih suka memanggil Ibu, dari pada mama
atau mami. Lebih sesuai bagi saya sebagai keturunan jawa dan sudah menjadi
kebiasaan di keluarga kami. Ibu seorang yang solehah, cantik, tegas, disiplin
dan bermental pemimpin.
Meskipun puteri seorang Kepala Desa
di Kabupaten Purwodadi Grobogan, namun dari kecil Ibu bersekolah di Kota Solo.
Karena Pendidikan Eyang puteri di keluarga dan pergaulan serta lingkungan, mempengaruhi ibu untuk bertutur kata lembut
dan penuh sopan santun. Begitupun saat mendidik kami keempat Putera dan
puterinya.
Setelah selesai kuliah, saya
mendapat kerja dan ditempatkan di Plaju – Palembang Sumatera Selatan. Pada
suatu kesempatan pulang ke rumah, ibu mendapati ada yang berbeda dari saya.
Suara
saya menjadi sering keras, seolah olah marah. “Yang sopan ya nak, ini
berbicara dengan Ibumu,” kata ibu. Sejak saat itu saya sering
berhati hati dalam berbicara dengan orang yang lebih tua terutama Ibu dan
Bapak.
Ibu sangat detil dalam mendidik
kami, bahkan sekedar cara berjalan saja diajarkan kepada kami. “Berjalan
harus satu garis ya nak, kaki diangkat jangan sampai berbunyi, “ kata Ibu.
Ibu mengajarkan kepada kami selalu
makan bersama dengan keluarga di meja makan. Selain karena masakan Ibu sudah
jelas bersih dan halal. Juga waktu makan Ibu dapat mengetahui kondisi anak
anaknya apakah sehat, bahagia atau sedih. Karena selalu ada percakapan dalam
tradisi makan bersama.
Adab dan Sunah makan bersama juga
diajarkan oleh Ibu. Makan berdo’a terlebih dahulu. Menggunakan tangan kanan.
Tangan hanya sekitar dua puluh centi meter diletakkan di meja, tidak boleh
terlalu lebar mengganggu yang duduk disebelah kita.
Keluarga kami sederhana, bapak
pegawai negeri masuk kerja dengan ijazah setara SMA. Sehingga salah satu alasan
mengapa harus makan bersama adalah supaya semua kebagian makanan. Biasanya bapak sudah
diambilkan terlebih dahulu oleh ibu apabila tidak bisa makan bersama keluarga.
Yang tidak kalah pentingnya Ibu selalu
mengingatkan menggunakan pakaian yang sopan saat makan bersama. Tidak boleh
menggunakan kaos tanpa lengan dan juga tidak boleh menggunakan rok tanpa
lengan.
Nasehat
Ibu untuk saya
Sebagai anak
Perempuan paling besar dari empat bersaudara, saya diharapkan orang tua menjadi
contoh yang baik bagi adik adik.
Beliau berharap, anak-anaknya bisa
hidup mandiri tidak selalu bergantung kepada orang tua dan pada suami. Sejak
kecil saya dibekali dengan berbagai ketrampilan Wanita, seperti memasak,
menjahit dan wirausaha.
Masih lekat dalam ingatan saya,
waktu masih kecil sudah diajarin ibu buat kue kering sehingga kalau lebaran
tidak perlu membeli. Selain itu aneka cake, bolu, bahkan saat kakak sepupu
menikah, saya yang membuat cake untuk hantaran. Juga buat jajanan untuk
dimasukkan koperasi sekolah untuk dijual.
Untuk
menjahit saya dikursuskan ibu di tetangga, masuk duduk di sekolah menengah
pertama kala itu. Mulai mengukur, membuat pola dan menjahit mulai kemeja dan
rok. Jadi sering saya membuat baju sendiri dan untuk keluarga.
Sejak saya masih duduk di SD, Ibu sudah berhenti bekerja. Keputusan
sulit tentunya, karena Ibu selalu memegang uang sendiri harus menerima uang
dari suami, Bapak saya. Alasanya klasik, tidak ada yang membantu mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan mengasuh adik-adik saat Ibu bekerja.
Ibu semula bekerja sebagai guru matematika
kelas enam SD dan juga mengajar les private. Dengan berat hati, sesuai
anjuran Bapak untuk focus mengurus anak. Mencari nafkah menjadi tanggung
jawab Bapak.
Hal itulah yang sering menjadi doa ibu
agar anak-anak nya harus bisa mandiri, tidak bergantung kepada penghasilan
suami nantinya.
Pendidikan agama dan Pendidikan
Sekolah sangat diutamakan di keluarga kami. Bagaimanapun terbatasnya keuangan
keluarga, selalu mencarikan sekolah yang bagus. Bahkan dengan menambah dengan
les dan tambahan Pelajaran selain sekolah.
Masih ingat, rumah sering dijadikan
tempat berkumpul untuk belajar bersama teman teman sekolah. Karena ibu selalu
mengajari kami, khusunya untuk Pelajaran matematika yang menurut kami agak
susah.
Alhamdulillah dari SD sampai dengan
SMP saya mendapat langganan ranking di urutan tiga besar. Sehingga tidak
mengalami kesulitan saat pindah SMA ke Semarang.
Karena saat semester dua di SMA,
Bapak pindah tugas ke Semarang. Maka kami sekeluarga ikut pindah ke Semarang.
“Supaya mudah masuk Perguruan Tinggi Negeri”, kata Bapak yang diaminkan oleh
Ibu.
Syukur Alhamdulillah saya diterima
di Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang. Jurusan yang dipilihkan Bapak
dan Ibu untuk saya yang berbeda dengan minat dan bakat saya.
Pada tahun yang sama dari lulus
kuliah, saya diterima kerja di salah satu BUMN sesuai keingingan Bapak dan Ibu.
Sungguh Ridho Allah swt sesuai dengan Ridho orang tua.
Saya berusaha mengikuti keinginan
dan nasehat orang tua, maka Allah
mengijabah do’a hambanya.
Dakwah
Ibu dengan contoh
Ibu seorang yang
taat beragama. Tidak berulang ulang menasehati kami. Namun dengan memberikan
contoh kebiasaan baik dalam ibadah sehari hari. Bila suara adzan panggilan
sholat wajib berkumandang, Ibu sudah siap dengan wudhu dan diatas sajadah.
Ibu sangat disiplin dengan waktu. Beliau
belum segera beranjak dari atas sajadah, bila belum tuntas do’a dan dzikir. Ibu
sangat senang berdzikir. Bahkan tidak hanya selepas sholat. Lisan Ibu selalu
basah dengan dzikir dan istighfar.
Menggunakan jari tangan kanan untuk
menghitung setiap kalimat thoyyibah yang beliau lafaskan sampai dengan hitungan
sepuluh. Kemudian jari tangan kiri dilipat satu. Begitu seterusnya, tanpa
menggunakan bantuan alat seperti tasbih ataupun counter yang lain.
Kami belum makan siang bersama, kalau Ibu
belum selesai sholat dhuhur dan dzikir. Begitu juga untuk sore hari, kami belum
mulai makan malam kalua belum selesai sholat maghrib dan Isya’.
Amalan Ibu yang secara terus menerus
dilakukan adalah Infaq dan sedekah. Khususnya kepada anak yatim piatu dan
memberi makan kepada dhuafa. Hal tersebut merupakan amalan yang dicontohkan
dari kakek dan nenek.
Meskipun kami sudah pindah rumah ke
Semarang, namun Ibu masih terus menyambung silaturahmi dengan warga desa
ditempat kelahiran Ibu.
Tidak lupa memberi bantuan berupa sembako,
pakaian seperti kakek dan nenek dahulu melakukan. Sambil kemakam mengirim doa
kepada orang tua Ibu dan keluarga yang sudah berpulang menghadap Allah swt.
Sebagai anak paling tua, Ibu memberikan
amanah kepada saya untuk selalu menjaga keutuhan tali silaturahmi dengan Adik-Adik.
Juga saling membantu bila ada adik yang
perlu bantuan. Sampai kami berempat sudah berkeluarga. Ibu dan Bapak masih
terus memikirkan ekonomi rumah tangga kami anak anaknya.
Alhamdulillah kami sudah mandiri, sudah
bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarga sendiri. Namun orang tua masih
menganggap kami seperti anak kecil. Bila saya pulang dari menjenguk orang tua,
selalu dibekali makanan untuk saya dan cucunya.
Keharmonisan
Ibu dan Bapak
Alhamdulillah Ibu dan Bapak
dianugerahi Allah kehidupan keluarga yang harmonis, Sakinah ma waddah wa
rohmah. Sungguh saya bersyukur menjadi anak mereka. Sampai pernikahan ke-55
tahun atau pernikahan Emerald.
Karena hanya Ibu dari enam
bersaudara yang masih diberi umur panjang. Kakak dan adik Ibu sudah mendahulu
dipanggil menghadap Allah swt. Maka atas masukan kakak sepupu dan saudara untuk
dirayakan.
Maka kami mengadakan acara
tasyakuran 55 tahun pernikahan Ibu dan Bapak. Hari itu 5 Januari 2019, kami
anak anak mengundang saudara, tetangga, pengurus masjid dan pengurus RW.
Paklik, bulik, mas, mba hadir ke
Semarang dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Solo, Yogya, Gombong dan daerah lain.
Suasana penuh keakraban dan Bahagia. Sekalian reuni keluarga besar.
Acara juga diisi tausyiah oleh Ustadz
Nawawi teman Ibu dan Bapak berangkat Haji. Dengan thema kajian bagaimana
mempertahankan keluarga Sakinah ma waddah wa Rahmah.
Kunci keharmonisan keluarga orang tua
adalah Ibu seorang yang penurut pada suami. Selalu mengikuti apa kata bapak,
sepanjang sesuai syariah Agama. Sesuatu yang mudah untuk dikatakan tapi susah
untuk diikuti.
Dikembalikan ke niat, untuk apa tujuan
pernikahan kalau tidak untuk mencari Ridho Allah swt. Begitu kata ibu apabila
ditanya resep langgeng nya berkeluarga.
Menurut cerita Ibu, beliau terakhir
menikah di keluarganya. Ibu anak nomor lima dari enam bersaudara. Adik Ibu
lebih dahulu menikah. Sedangkan Ibu waktu itu sudah ada calon suami dan sudah
bekerja.
Ibu memilih untuk merawat orang tuanya
sampai ayah nya meninggal dan nenek meninggal dunia saat saya masih balita.
Sungguh Ibu sangat berbakti kepada orang tua.
Kehidupan kakek nenek yang selalu rukun
itulah yang mengajarkan Ibu untuk berbakti pada suami.
Ibu
Yang Sangat Saya sayangi
Ibu yang
melahirkan, menyusui dan membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, doa dan
pengorbanannya sungguh tidak akan pernah saya lupakan. Teladan yang Ibu berikan
tentang kekuatan dan semangat dalam mengarungi kehidupan memberikan motivasi
saya dikala jauh dari Ibu.
Saat saya lulus kuliah dan mendapat
pekerjaan di Plaju, Palembang. Beliau adalah orang yang paling sibuk
mempersiapkan segala sesuatu.
Dengan nasehat yang selalu kuingat untuk
menjaga sholat, dzikir dan sholawat. Selalu menjaga adab, jangan sampai
menyakiti hati orang lain.
Sebagai bentuk sayang dan perhatiannya,
Ibu selalu menghubungi saya melalui telephone sekedar menanyakan khabar, bahkan
mengingatkan untuk rajin beribadah.
Karena
baru pertama kali berpisah dengan Ibu, kalau lagi rindu akan masakan
Ibu, rindu cerewetnya Ibu atau rindu debat dengan Ibu, maka saya yang
menghubungi Ibu.
Saat saya melangsungkan pernikahan di
Semarang, karena waktu itu masih bekerja di Plaju, maka Ibu yang mempersiapkan
segala sesuatunya. Mulai memilih perias, menentukan dekorasi, catering
dan Gedung tempat acara.
Begitu juga saat saya dan suami menunaikan
ibadah Haji. Ibu dan Bapak yang menemani Anak-Anak yang kala itu masih SD.
Mulai Menyusun menu dan membacakan dongeng sebelum tidur, menemani belajar,
sampai mengantar sekolah. Bahkan Ibu sangat telaten mencatat seluruh
pengeluaran belanja selama 40 hari.
Saat masa tua nya, karena anak-anak sudah
berumah tangga dan tinggal berpisah dari orang tua, saya yang paling sering
mengunjungi Ibu dan Bapak.
Meskipun tinggalnya paling jauh dibanding
dengan saudara yang lain, saya usahakan setiap ada kesempatan mengujungi
beliaunya.
Pada
suatu saat Ibu bercerita, bahwa ada satu hal yang membuat beban pikiran ibu
sampai masa tua nya yaitu ada adik saya yang belum mempunyai rumah sendiri.
Sudah kami ingatkan kepada Ibu, bahwa hal itu merupakan pilihan.
Karena adik memilih tinggal di Jakarta,
dekat dengan tempat kerja dan sekolah anaknya. Sedangkan harga rumah di kota
sangatlah mahal, maka pilihanya adalah kontrak.
Namun Ibu berpesan kepada saya untuk dapat
membantu membelikan rumah adik. Ibu merasa kasihan kepada adik karena setiap
tahun memperpanjang kontrakan yang nilainya terus meningkat.
Saya paham, Ibu ingin semua anaknya
bahagia, sukses, rukun, saling peduli dan menyayangi. Pesan tersebut selalu
saya ingat. Semoga Allah memudahkan dan mengabulkan doa Ibu.
Berita
Duka Dipagi Hari
Hari itu Senin 11
Maret 2019, saya beraktifitas seperti biasa. Sebelum sholat subuh sudah mandi
dan bersiap siap pergi ke kantor bersama dengan anak sulung pergi kerja. Anak
yang mengendarai kendaraan.
Menjadi kebiasaan saya, handphone
diletakkan di tas. Lalu saya ngobrol dengan anak disepanjang jalan menuju
kantor.
Sampai di kantor, kebiasaan saya
meletakkan tas di meja kantor lalu sholat dhuha dan memulai kerja. Betapa
kagetnya saya waktu membuka handphone, yang posisi silent. Terdapat lebih dari
30 notifikasi. Dari bapak, adik adik, tetangga, yang mengabarkan ibu sudah
meninggal dunia.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Saya langsung tutup laptop dan bergegas menuju bandara untuk terbang ke
Semarang. Terlebih dulu pamit kepada atasan dan teman kerja.
Sambil duduk di mobil taxi menuju
bandara, saya pesan ticket pesawat dan menghubungi suami anak serta saudara dan
teman di Semarang.
Sampai di Semarang, rumah sudah penuh
dengan tetangga, teman teman dan jenazah ibu yang sudah selesai dimandikan dan
dikafani. Bener bener seperti tamu.
Ibu dan Bapak tinggal di rumah Semarang
hanya berdua. Kami anak anaknya tinggal di luar kota. Jadi tetangga yang cerita
kepada saya kejadianya.
Awalnya sekitar pukul 02.00 dini hari, Ibu
mengeluh dingin. Kemudian Bapak matikan Air Conditioner dan menambah selimut.
Kemudian mendekati subuh ibu mengeluh tambah dingin. Lalu dipakaian kaos kaki,
baju hangat.
Bapak mengingatkan ibu untuk tayamum saja,
sholat subuh sambil berbaring. Kemudian bapak juga sholat subuh. Biasanya Ibu
sebelum subuh sudah mandi, kemudian setelah sholat, do’a dan dzikir serta
menyiapkan minuman dan sarapan.
Namun saat itu Ibu masih posisi berbaring
di tempat tidur. Kemudian bapak berniat membangunkan, namun Ibu sudah tidak
bergerak. Bapak memanggil tetangga yang anak serta menantunya dokter untuk
membantu membawa Ibu ke rumah sakit.
Dokter di Rumah Sakit menyatakan Ibu sudah
meninggal dunia. Betapa sedih dan pontang pantingnya bapak kala itu, saya tidak
bisa membayangkan. Seorang diri menghadapi kenyataan ditinggal isteri tercinta.
Keputusan untuk dimandiin dimana,
dimakamkan dimana, diputuskan sendiri oleh Bapak. Karena saya tidak bisa
dihubungi. Entah apakah adik adik bisa dihubungi atau tidak.
Bapak mengurus jenazah ibu sendirian di
Rumah Sakit. Sementara di rumah dan persiapan di makam dibantu tetangga.
Selesai Sholat Dhuhur, Ibu dikebumikan di
Tempat Pemakaman Umum dekat rumah. Tidak menunggu anak, menantu, cucunya
berkumpul.
Ibu meninggal dunia secara mendadak, dalam
keadaan tenang sehabis sholat dan dzikir sesuai kebiasaan semasa hidupnya.
Saya
sungguh merasa kehilangan, bersalah dan belum bisa memenuhi keinginan ibu, yaitu untuk dapat
membantu adik, terutama membantu membelikan rumah.
Namun belakangan adik akhirnya bercerita,
bahwa pernah ditanya Ibu beberapa hari sebelum meninggal. Sudah membeli rumah
sendiri. Supaya jangan menjadi beban
pikiran Ibu.
Kami selalu mendoakan, semoga Allah swt mengampuni
dosa dan kesalahanya, menerima amal ibadahnya dan memasukkan ke surga dengan
Rahmat dan Ridho Allah swt.
Ibu adalah teladan dalam hidup dan saya akan terus berusaha menjalankan nilai-nilai yang telah beliau tanamkan dalam diri saya. Warisan yang tak ternilai harganya dari Ibu bukanlah perhiasan, harta atau kekayaan, tetapi kasih sayang, kekuatan, kesabaran dan kedisiplinan yang telah beliau ajarkan kepada saya.
Saya selalu berusaha menjadi Perempuan solehah, sukses, bahagia, sabar, menjadi contoh yang baik buat adik-adik serta bermanfaat buat orang lain seperti yang Ibu harapkan. Semoga Allah swt memudahkan Amin.
Comments
Post a Comment